Minggu, 15 Desember 2013

SHOLAT JENAZAH


      Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah4, karena adanya perintah Nabi n dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadahz, ia menceritakan:
Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah n agar beliau menshalatinya, ternyata beliau n, bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi n bersabda: “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya.”5
Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu:
1. Anak kecil yang belum baligh, karena Nabi n tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika wafatnya sebagaimana diberitakan ‘Aisyahx:
“Ibrahim putra Nabi n meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau n tidak menshalatinya.”6
2. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena Nabi n tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik z mengabarkan:
“Syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dan mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka, juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah.”7
Kedua golongan di atas, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hal ini disyariatkan. Namun pensyariatannya tidaklah wajib. Kenapa kita katakan hal ini disyariatkan? Karena Nabi n pernah pula menshalati jenazah anak kecil seperti tersebut dalam hadits Aisyah x:
“Didatangkan kepada Rasulullah n jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”8
Sebagaimana Nabi n pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:
“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi n . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi n berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi n mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya.
“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.
“Bagian yang diberikan Nabi n untukmu,” jawab mereka.
A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi n, seraya bertanya: “Harta apa ini?”
“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi n .
“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi n bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”
Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi n, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.
“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi n.
“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.
“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi n. Kemudian Nabi n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi n dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.”9
Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Apakah Disyariatkan Menshalati Janin yang Gugur?
Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud z secara marfu‘:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”10
Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)
Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah
Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu, dengan dalil:
1.    Nabi senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.
2.    Nabi telah bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” 11
Namun bila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri maka telah tertunaikan kewajiban, sebagaimana kata Al-Imam An-Nawawi t: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri. Namun yang sunnah, shalat jenazah itu dilakukan secara berjamaah. Karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits masyhur yang ada dalam kitab Ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijma’ kaum muslimin dalam masalah ini.” (Al-Majmu’, 5/172)
Semakin banyak jamaah yang menshalati jenazah tersebut, semakin afdhal dan ber-manfaat bagi si mayat12, karena Nabi n bersabda:
“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan syafaat kepada si mayat, melainkan mayat tersebut disyafaati.”13
Bahkan jumlah yang kurang dari 100 pun bermanfaat bagi si mayat, dengan syarat mereka yang menshalatinya itu dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid dengan tidak mencampurinya dengan kesyirikan sedikit pun). Seperti tersebut dalam sabda Nabi n:
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikit pun menshalati jenazahnya, melainkan Allah memberikan syafaat mereka itu terhadapnya.”14
Disunnahkan makmum yang ikut shalat jenazah tersebut membentuk tiga shaf atau lebih di belakang imam15, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Umamah t, ia berkata:
“Rasulullah n pernah shalat jenazah bersama tujuh orang, maka beliau menjadikan tiga orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam satu shaf dan dua orang yang tersisa dalam satu shaf.”16
Yang afdhal pelaksanaan shalat jenazah itu di luar masjid, di tempat yang memang khusus disiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana hal ini dilakukan di masa Nabi n (Ahkamul Jana`iz, hal. 135).
Masbuq dalam Shalat Jenazah
Ibnu Hazm t berkata: “Bila seseorang luput dari mendapatkan beberapa takbir dalam shalat jenazah (bersama imamnya), maka ia langsung bertakbir ketika tiba di tempat shalat tersebut tanpa menanti takbir imam yang berikutnya. Apabila imam telah salam, ia menyempurnakan apa yang luput dari takbirnya, dan berdoa di antara takbir yang satu dengan takbir yang lain sebagaimana yang ia perbuat bersama imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah n terhadap orang yang (terlambat) mendatangi shalat berjamaah (masbuq) agar ia mengerjakan apa yang sempat ia dapatkan bersama imam dan ia sempurnakan apa yang tertinggal….” (Al-Muhalla, 3/410)
Posisi Berdiri Imam
Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin Jundabzyang dikelu-arkan dalam Shahihain17. Samurah berkata:
“Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi n ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi n berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.”18
Abu Ghalib Al-Khayyath t berkisah: “Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik z menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.
Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang yang tsiqah dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata: ‘Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullah n berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”19
Wanita Menshalati Jenazah
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Apabila tidak ada yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut. Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah kewajiban (menshalati jenazah) dengan apa yang mereka lakukan. Dan mereka menshalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun tidak apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah (dengan sesama mereka).” (Al-Majmu’, 5/169)

0 komentar:

Posting Komentar